Teaki Kereki Jarangku Kodong ( cerpen anak kaluku )

 

Ilustrasi

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering dipertemukan oleh orang-orang yang mungkin memiliki perilaku dan karakter yang berbeda, bahkan terkadang karena kita tidak cukup banyak memiliki pengalaman atau bahkan tidak pernah melihat kesamaan pada orang lain sehingga dengan mudahnya kita memberi kesimpulan bahwa hal tersebut adalah tidak rasional. Bahkan jikalau pun sesuatu itu terjadi sesuai dengan kebiasaan tak jarang orang menanggapinya cukup dengan kata “Kodong”.

Pada tulisan ini penulis mencoba menyusun sebuah cerpen yang sifatnya fiksi/faksi,  tentunya diambil dari berbagai keadaan dan mungkin sangat jarang terjadi pada diri orang lain atau bahkan sering kita dengar orang menanggapi sesuatu dengan menyebut kata “mustahil” tetapi keberadananya nyata dan memang terjadi.

Berikut beberapa tindakan Tahmil nama anak yang menjadi tokoh utama pada cerita ini, yang sikap dan tingkahnya sering dianggap tidak masuk akal tetapi rasional dan  memang terjadi. 

 

KUDAKU JANGAN DISEMBELIH !

Hari sudah mulai gelap, temaram lampu pelita menemani cahaya bulan yang nampak malu di peraduannya. Cahaya remang yang tak menghalangi aktifitas malam penduduk desa.. Nampak sebuah rumah panggung berdiri kokoh diapit pohon kelapa kekar di sekitarnya. Rumah berlantaikan papan belum terpaku setiap sudutnya, yang akan berbunyi saat pijakan kaki melangkah di atasnya, permukaannya bertekstur dan tidak rata, terkadang disisi ujung yang diinjak mengakibatkan sisi ujung yang lain terangkat. Di bawah kolong rumah ada kandang kuda kesayangan, selain peliharaan juga sebagai sarana tranportasi serta menjadi alat bantu yang multi fungsi termasuk suara pekikannya menjadi musik alami di setiap waktu. Inilah kondisi rumah di masa kecilku bersama ayah yang bernama Taha dan ibu yang bernama Suara yang hidup sederhana bersama saudara-saudaraku.

Jalan yang membentang menjadi penghubung Desa Bukit Harapan dan Desa Benteng Palioi di sisi kiri dan kanannya nampak rumah-rumah masyarakat yang berdiri kokoh menghadap ke jalan. Dengan jiwa sosial yang masih melekat erat, jika ada aktivitas yang dilakukan oleh satu rumah, maka tetangga yang lainpun tanpa perintah akan saling bahu membahu. 

Malam itu nampak sedikit lebih ramai dari malam-malam sebelumnya. Di rumah yang biasanya hanya kami ,beraktifitas dengan rutinitas seperti biasa, kini mereka di temani oleh Nenek Hami yang tidak lain adalah orang tua ibuku.

Satu demi satu tetangga berdatangan dan berkumpul di kolong rumah, hal itu terlihat jelas di sela papan karena sinar obornya yang terang. Bahkan dengan suara lantang dan saling bersahutan meneriakkan kalimat “Rimpungi” ( bahasa daerah konjo yang berarti belenggu).

Merespon dari suara-suara di bawah, secara repleks Taha ayahku tiba-tiba berdiri dan bergegas turun ke kolong rumah dan menghampiri kerumunan, sementara Ibu hanya bisa menarik napas panjang sembari meraih kedua pangkal lengangku yang saat itu baru berusia setahun. Dalam gendongan ibu bergegas menyusul untuk segera melihat apa yang sedang  dilakukan oleh Ayah dan rekan-rekan tetangga yang sudah dari tadi menunggu perintah.

Belum jelas sebenarnya dan bagaimana sehingga para tetangga berdatangan dan berkumpul di kolong rumah, ada yang membawa parang, ada yang membawa pisau, ada yang cukup membawa obor, dan ada pula yang membawa lampu petromas. Semua keadaan itu tak luput dari perhatian saya malam itu.

Sudah mulai gelisah, namun apa hendak dikata, saya hanya dapat memperhatikan setiap gerak gerik dari semua yang terpantau oleh mata dan terdengar oleh telinga, namun untuk menyampaikan keinginan semua hanya dapat kusalurkan melalui tangan dan telunjuk.

Dalam posisi digendong, Suara sesekali memberi saran kepada ayah dalam bahasa konjo,

“Pakajarrei sikko’na jarangta nampa nikere’”

yang artinya tolong eratkan ikat erat sebelum disembelih. Dengan kalimat itu saya sedikit mengerti bahwa ternyata kuda kesayangan milik ayah satu-satunya akan segera di sembelih.

Mengetahui hal itu entah mengapa saya tidak terima kuda itu akan disembelih, mulailah saya memberontak dalam pelukan ibu. Saya terus menunjuk-nunjuk ke arah orang yang berupaya membelenggu kuda milikku, saya menangis dan meraung sekuat tenaga sebagai tanda penolakan atas apa yang akan dilakukan oleh orang-orang di bawah sana. Bahkan dalam angan-angan ku kalaupun nantinya kuda itu harus mati disembelih, maka cukuplah ayahku saja yang melakukannya, jangan orang lain.

Tak ada yang mengerti apa yang menyebabkan saya tiba-tiba menangis dan tidak ada pula yang dapat menghentikan tangisanku, berbagai cara  dilakukan untuk menghentikan tetapi semua tak memberi pengaruh yang berarti. Sebentar di gendong  Ibu, sebentar di gendong bapak, dan bahkan, hampir semua yang ada di atas rumah meminta agar mereka diberi kesempatan untuk menggendong dan menenangkan ku dari tangisan yang sejak tadi tak dapat dihentikan.

“Angngurako do, apa nganuko nanutea kamu ammakkang?”.

Demikian ungkapan kekesalan sang nenek kalau dalam bahasa indonesianya adalah “Kamu kenapa, apa yang membuatmu begitu sehingga kamu terus menangis”.

Sedikit mengurangi gerakan di atas gendongan, seolah kejengkelan nenek Hami itu mengerti apa yang ada dalam pikiranku, tetapi saya terus merontah, bahkan pegangan tangan nenek hampir terlepas oleh karena banyaknya gerakan saya yang menyulitkan bagi nenek.

Walau saya menangis sampai pagi sepertinya apa yang saya inginkan jelas tidak dapat dimengerti oleh mereka, kini kudaku sudah berlumuran darah dan tubuhnya sudah tak bergerak lagi.  Orang-orang pun secara beramai-ramai melakukan tugasnya. Ada yang membuka tali di kakinya, ada yang memotong urat kaki, dan yang lainnya memegang masing-masing keempat kaki sembari seorang menguliti dari sisi perut.

Hanya dapat menikmati ketidakberdayaan diantara orang-orang tidak mengerti, sebenarnya saat itu saya tidak memerlukan upaya dari mereka untuk mengerti apa yang saya inginkan, namun seandainya sang kuda disembelih secara tiba-tiba karena alasan sakit perut dan tak dapat ditolong, maka satu-satunya solusi dan alternatif penyelamatan adalah dengan disembelih.

Apa boleh dikata semua telah terjadi, saya sudah terlanjur marah dalam ketidakberdayaan dan ketidaktahuan sementara orang yang mengurusku pun tidak mengerti mengapa saya memuntahkan kemarahan.

Selesai.......

0 Response to "Teaki Kereki Jarangku Kodong ( cerpen anak kaluku )"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel